Pada suatu Jumat malam sepulang dari kantor aku makan malam di sebuah cafe di daerah Menteng dengan teman-teman semasa kuliah. Tema pembicaraan saat itu adalah gaji pertama kami. Sempat terbersit dalam hati koq gaji pertamaku cuma sekian jika dibandingkan dengan teman-teman lainnya yang sama-sama bekerja di perusahaan multinasional.
Hampir jam 11 malam ketika aku dan sahabatku berkendara pulang saat kami terhenti oleh lampu merah di perempatan Teuku Umar. Di trotoar tampak gerobak-gerobak pemulung berisi anak-anaknya yang sudah tertidur pulas kelelahan. Sebagian orang tua mereka tertidur di trotoar tanpa alas, sebagian masih terjaga mengobrol dengan sesamanya.
Tak lama sebuah motor tua berhenti di samping kami, dengan tumpukan kotak-kotak plastik di jok belakangnya. 5 kotak di bagian bawah tampak kosong, hanya 1 kotak teratas yang masih terisi beberapa potong roti yang tak terjual hari itu. Pengemudi motor tsb melambaikan tangan ke arah para pemulung yang kemudian menghampirinya. Lalu pengemudi motor tsb membuka kotak teratas dan membagikan roti itu. Walau malam tlah gelap, terpancar cerah di wajah para pemulung itu. Dibangunkannya rekan-rekan mereka yang semula telah tertidur dan mereka membagi rata roti itu.
Aku terdiam di kursi penumpang.
Sang Pencipta menyajikan sebuah pelajaran bersyukur di depan mataku. Dengan semua rizki yang telah dilimpahkan-Nya kepadaku, sempat hatiku merasa pemberian-Nya masih kurang.
Seorang pengantar roti yang baru selesai bekerja jam 11 malam di gelapnya dan dinginnya malam masih bisa bersyukur dengan berbagi kepada sesamanya, padahal mungkin pendapatannya tidak sebesar yang kuperoleh.
Bahkan para pemulung yang makan 1 potong roti saja belum tentu kenyang, masih bisa membagi roti itu dengan teman-temannya yang lain.
Dari sudut hati terucap doa, “Maafkan aku telah berburuksangka kepada-Mu, terimakasih atas segala nikmat yang telah Kau berikan, dan semoga Kau jadikan aku orang yang selalu bersyukur kepada-Mu.”